-->

iklan

Tuesday, April 7, 2020

author photo



Masih berkutat pada soal Adaptasi budaya. Pada kesempatan ini penulis akan menceritakan dan berbagi pengetahuan soal Dimensi Budaya Feminism dan Masculinism.

Mungkin dibenak anda Feminism itu ialah sisi dari sifat keprempuanan dan masculism adalah sisi dari kejantanan seorang laki-laki. Anggapan itu hanyalah sebuah gambaran karakteristik gender yang dipikirkan oleh pembaca.

Materi ini dapat saat penulis mengikuti advance class Kita Bhinneka Tunggal Ika Via virtual meeting by aplikasi. Jaringan internet yang sedikit bermasalah sehingga penulis berulang kali mencoba mengakses untuk bisa berada pada ruangan rapat virtual. Beberapa yang penulis ketahui dari materi ini.


Sedikit penulis mengulas defenisi Feminism Masculism dan Feminism. Feminism adalah serangkaian gerakan sosialgerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Sedangkan Masculism adalah gerakan politik, kultural, dan ekonomi yang bertujuan untuk menegakkan dan membela hak-hak dan partisipasi laki-laki dalam suatu masyarakat, termasuk kontrasepsi, pemeliharaan anak, pembiayaan anak (alimony), dan kesetaraan upah kerja.

Kedua dimensi budaya ini memiliki dua perbedaan yang melekat antara Masculism dan Feminism, dalam sebuah lingkungan keluarga. Misalnya dalam keluarga kita ada ayah, ibu, dan anak. Seorang ayah memiliki eperkasaan yang tangguh sedangkan si ibu memiliki kepedulian yang tinggi terhadap keluarganya. Kedua ini bisa dikatakan mana yang Masculism mana yang Feminism. Feminism berbicara soal kesetaraan gender tanpa diskriminasi sedangkan Masculinism adalah sisi kebebasan seorang laki-laki dan kekuasaan ( patriarki). Sehingga perasaan mendominasi sangatlah kuat.


Ada sebuah studi kasus yang diberikan kak Therry sebagai pembicara Advance class malam itu. Begini kasusnya :

Seorang siswa baru bernama Rima, yang cukup aktif dan vokal menyuarakan idenya dan bertekad menjadi yang terbaik di kelas sehingga dirinya nampak mendominasi. hingga disuatu keadaan dirinya merasa kurang nyaman karena dia mendapat penolakan oleh teman temannya karena keaktifannya itu. Sehingga dirinya dijauhi dan rima merasa risih dengan perlakuan teman-temannya hingga dirinya sempat berpikir apakah perilakunya selama itu salah. Padahal dirinya hanya berniat melakukan yang terbaik ditempat itu. 

Kemudian Kak Therry meminta kepada kita untuk menanggapi kasus tersebut. Gambaran studi kasus diatas bahwa konflik mendominasi salah satu faktor pemicu kenapa Rima dijauhi oleh teman-temannya yang memiliki low Masculism. Penulis mengagumi sosok Rima yang memiliki inisiatif yang tinggi, selalu melakukan sebaik mungkin dan sangat bertekad kuat agar pencapaian yang ia inginkan dapat tercapai. namun Rima tidak membatasi sisi dominannya dengan. Apa yang dilakukannya hanya sekedar memastikan ia telah melakukan yang terbaik, mengungguli dari teman-temannya. Sebetulnya hal positif yang dilakukan Rima patut diacungi jempol. Kita ketahui bahwa Rima sebenarnya terdidik dari keluarga yang sangat Masculism sehingga ia beresilience dengan keadaannya padahal ia setidaknya memberikan kesempatan temannya bahkan membantu temannya untuk bisa melakukan apa yang ia lakukan (simpati).


Penulis punya pengalaman dalam kehidupan penulis dimana ayah dari seorang penulis memiliki power distance yang sangat kuat. Apa yang ayah penulis katakan pasti akan diikuti oleh anak-anaknya. Namun penulis punya seorang ibu yang Masculism sehingga mampu memahami kondisi keluarganya. Biasanya dalam perbedaan pendapat ayah dan ibu penulis terkadang ada yang mengalah terkadang ada yang masih mempertahankan sudut pandang hingga hubungan sedikit cress dan itu hal yang wajar dalam lingkungana masculism maupun Feminism. Ayah penulis kadang berusaha untuk menyepakati jika perbedaan pendapat itu dibarengi alasan yang bisa diterima tapi itu agak sedikit sulit. Setidaknya usaha untuk beradaptasi pada budaya ini.


Pada budaya orang Makassar dan Sulawesi Selatan khusunya dari pengamatan penulis berdasarkan fakta kejadian yang dilihat, sebagian masyarakatnya memiliki budaya Masculism. Misalnya dalam berdiskusi atau berorasi di jalan yang dilakukan oleh mahasiswa aktivis dimana mereka ingin menampilkan sisi dominannya bahkan jika terjadi chaos mereka tidak takut dan malah ikut aksi tawuran ketika mereka tahu salah satu diantara mereka ada yang tertangkap atau terluka. Power distance kelompok sosial dan persaudaraan yang begitu kental mereka mengorbankan nyawa hanya untuk membela saudara mereka. Inilah value dari keberanian untuk melindungi. Keperkasaan dan ketangguhan terdengar saat suara lantang mereka berdemonstrasi menyampaikan suara rakyat walau ada himbauan untuk meninggalkan tempat itu. Kekuasaan yang begitu kuat.


Poin - poin lainnya dari Feminism dan masculism.
Dalam Dimensi budaya Feminis  bentuk implementasi dan perilaku yang menyesuaikan dimana feminis
Memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap orang lain, menghargai perbedaan yang ada, prinsip bekerja untuk hidup, bersimpatik pada mereka yang tidak beruntung, dan intuisi yang begitu tinggi terhadap kondisi masalah maupun interaksi sosialnya. Makanya Feminism ini lebih kepada kesetaraan tanpa ada perbedaan golongan.

Dalam menyikapi budaya masculinism pada masyarakat memiliki implementasi dan karakteristik yang kita pahami dimana Masculinism memiliki value keberanian dalam melindungi baik individu maupun kolektif dalam kelompok sosialnya. Sisi yang lebih dominan dan unggul adalah sebuah kebutuhan yang diinginkan. Perbedaan adalah hal yang utama untuk menentang. Mindset hidup untuk bekerja adalah pemikiran bagi mereka yang tangguh dan kuat. Serba cepat dan instan terhadap keinginan yang dicapai. Ketegasan dan kekaguman terhadap prestasi diri sendiri dan orang lain sehingga maskulin ini kurang bersimpati dengan mereka yang low masculinism. Setiap orang setidaknya memiliki sisi masculinism dan feminism. Tergantung dari mana lingkungan ia berada. 

Adaptasi budaya yang ia terapkan sehingga siapapun bisa memiliki sisi budaya ini. Improve terhadap kondisi yang ada. Kedua budaya ini saling membutuhkan tanpa ada unsur dominan.

Perlu kita ketahui bahwa tingkat budaya  masculinity di Indonesia sangat rendah 46% menurut Hofstede dan Jepang memiliki Budaya masculinism sangat tinggi di dunia.


Tanpa kita sadari tiap orang sesungguhnya adalah seorang feminis maupun maskulinsm terlepas dari gendernya. Namun kedua budaya ini memiliki batasan- batasan Feminis, Maskulis semakin berbaur. Ada yang berusaha netral. Ada yang mengira keberpihakan pada salah satu, namun ternyata hanya meneruskan struktur dan pandangan berdasarkan “kacamata sinar x " menerima diri sendiri dan orang lain tentunya. Hal itu terjadi pada tingkat sadaran, maupun dalam filosofi maupun idealis kebijakan, pelaksanaan dan penerapannya dalam kehidupan kita sehari-hari.


Kesimpulan dari Rima diatas bahwa seharusnya kita mencontohkan hal yang positif yang dilakukan Rima dengan adaptasi budaya dan tanpa perlu menjauhinya dikarenakan sisi dominan, tetapi cukuplah dengan berkomunikasi atau menyampaikan kepada Rima bahwa apa yang ia lakukan harus bisa dibatasi dan memahami orang lain. Sebenarnya kedua budaya ini bisa bersinergi dan berdaya untuk dipergunakan oleh siapapun untuk lebih jauh memaknai keberagaman. 12 nilai dasar perdamaian sangat diandalkan.


Untuk semua masyarakat Indonesia apa yang terjadi hari ini tetaplah bersabar dan saling bahu-membahu berkontribusi bersama agar wabah Corona ini hilang dan kita bisa beraktifitas sediakala.


your advertise here

This post have 0 comments


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Themeindie.com